Darurat Keindonesiaan: Merawat Kebhinekaan, Menjaga Indonesia (1)
SERATUSAN orang memenuhi sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta. Sebagian besar dari mereka adalah para Antropolog. Mereka datang dari berbagai kampus dan lembaga untuk menyerukan Darurat Keindonesiaan. Apa itu? Seberapa gawat darurat itu?
Ikhsan Tamara
DARURAT KEINDONESIAAN. Dua kata itu diangkat sebagai isu utama, setelah sekitar 300 Antropolog Indonesia melakukan diskusi dan sejumlah pertemuan diberbagai tempat dalam beberapa waktu. Hasil temu-pikir itu adalah Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhinneka dan Inklusif.
Gerakan ini membuat sejumlah pernyataan sikap dan seruan yang disuarakan dalam waktu bersamaan di sejumlah kota besar di Indonesia yang umumnya menjadi basis para Antropolog, Jumat (16/12/2016). Antara lain di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Jogjakarta.
Mengapat Darurat Keindonesiaan? “Karena keindonesiaan kita terus digerus. Kami menganggap penting menyatakan darurat keindonesiaan, agar semua pihak menyadari bahwa ini bukan soal kecil. Ini soal siapa dan apa kita sebagai Indonesia,” kata Prof Dr Meutia Farida Hatta Swasono.
Prof Dr Meutia Farida Hatta Swasono menjadi salah satu Antropolog senior yang bersama-sama dengan Prof Amri Marzali PhD, Prof Dr Sulistyo Irianto, Dr Kartini Sjahrir, Dr Selly Riawanti, Iwan Meulia Pirous MA, Yando Zakaria dan Gigin Praginanto, menyuarakan sikap dan seruan itu di Jakarta.
Menurut putri proklamator Bung Hatta itu, lebih dari sepuluh tahun terakhir, para antropolog sudah mencatat berbagai peristiwa yang bernuansa menggerus kebhinekaan. Padahal, Indonesia merupakan rumah dari keragaman agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang. Hal tersebut terangkum dalam semboyan persatuan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.
“Pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum sering tampak tidak secara sepenuhnya bisa mengantisipasi atau memberi perlindungan. Tidak sedikit elit politik menggunakan diskursus yang memecah belah dan menggerus nilai keindonesiaan kita,” tuturnya.
Kampus dan institusi pendidikan juga dinilai tidak banyak bertindak. Masyarakat pun kerap berkontribusi pada rangkaian kekerasan. Media sosial dipakai untuk menyebar kebencian secara beringas, tidak dimanfaatkan untuk menggali ilmu pengetahuan. Media sosial kehilangan hakekat sosial dan sering menjadi forum permusuhan.
“Antropologi mengajarkan bahwa Indonesia yang bhineka adalah konstruksi sosial. Kekerasan, penyingkiran, pembungkaman adalah ancaman pada keindonesiaan kita,” kata Meuthia Hatta.
Situasi yang oleh para Antropolog disebut sebagai Darurat Keindonesiaan tersebut membuat mereka keluar dari ‘pertapaan’, dari kampus dan berbagai lembaga. Mengeluarkan sejumlah sikap, menunjukkan secara tegas di posisi mana para Antropolog berada ketika mereka merasa kebhinekaan terancam.
“Menyatakan menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan sikap, penyerangan dan pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang yang berbeda. Menolak segala bentuk manipulasi yang mempertentangkan antar golongan, menajamkan perbedaan, dan bahkan menganjurkan ekslusivitas. Menolak segala sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan, yakni nilai-nilai yang dibingkai dalam Pancasila dan dijamin konstitusi,” ujar Yando Zakaria membacakan sikap Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhinneka dan Inklusif di depan puluhan awak media cetak dan online.
Menghadapi situasi yang demikian, gerakan para Antropolog ini mengeluarkan sejumlah seruan untuk berbagai pihak, terutama untuk pemerintah. Panglima TNI dan Kapolri disebut secara khusus dalam seruan ini:
1. Menyerukan kepada pemerintah agar terus melindungi keindonesiaan dengan menindak tegas sesuai hukum siapa pun yang menggunakan kekerasan dalam menggerus nilai keberagaman kita. Secara khusus diserukan kepada Panglima TNI dan Kapolri agar merangkul seluruh rakyat dalam menjalankan tugas dan meletakkan kepentingan negara dan bangsa yang beragam di atas kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Penegakan hukum harus dilakukan hanya demi Tanah Air dan atas nama Tuhan—tidak semata-mata selektif dan/atau karena tekanan massa.
2. Menyerukan kepada segenap organisasi keagamaan, tokoh agama, lembaga nonpemerintah/LSM, organisasi kemasyarakatan, dan pemerhati kebudayaan agar menjaga ketenangan dan ketentraman masyarakat serta proaktif ikut merawat kebinekaan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
3. Menyerukan kepada elit sosial dan politik, baik formal maupun informal, agar menghentikan segala bentuk manipulasi primordial demi kepentingan politik dan kekuasaan sesaat.
4. Menyerukan pada para pemimpin lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, agar memperkuat pengawasan internal dan menyikapi doktrinasi sektarian secara tegas. Lebih luas, semua pemangku kepentingan di sektor pendidikan perlu mempertimbangkan kembali penggunaan materi pelajaran yang menajamkan perbedaan dan mempromosikan cara hidup ekslusif.
5. Menyerukan kepada warga masyarakat agar berpikir kritis, menjauhi fundamentalisme kebenaran dan mempelajari dengan seksama setiap persoalan bangsa. Kemampuan berpikir kritis adalah benteng agar kita tidak mudah diombang-ambingkan berbagai pihak yang menyebarkan intoleransi dan kebencian yang membahayakan kebinekaan dan keindonesiaan;
6. Menyerukan pada para pewarta agar menjalankan peran profesionalnya dengan mengedepankan keutuhan bangsa, nilai-nilai Pancasila, serta bersikap bijaksana dan cerdas untuk tidak menajamkan konflik horizontal dan tidak memberi ruang bagi politik identitas.
7. Menyerukan kepada segenap anak bangsa agar menjadikan media sosial sebagai ajang untuk memperluas ruang kehidupan, bukan justru menyempitkannya dengan menyebarluaskan kabar dan dan pendapat yang menyudutkan warga, kelompok, atau golongan lain.
8. Menyerukan kepada segenap warga negara agar terus meningkatkan upaya merawat kebinekaan secara demokratis, menyalurkan aspirasi dengan cara-cara menyejukkan, serta tidak memaksakan tata cara kehidupan yang spesifik di ranah publik. (san/bersambung)