Film Soekarno Masih Gunakan Tafsir Sejarah Orde Baru?
SNOL. Kontroversi lain yang, menurut saya, bisa mengundang kesalahan interpretasi publik adalah hubungan Soekarno dan pelacur. Di film garapan Hanung itu, Soekarno digambarkan sangat ‘disenangi’ oleh para pelacur. Sampai-sampai para pelacur itu menuruti apapun keinginan Soekarno.
Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, Hanung tidak menjelaskan, bahwa semasa membangun Partai Nasional Indonesia (PNI), Soekarno berhasil mengorganisir pelacur. PNI sendiri punya 670 anggota dari kalangan pelacur. Mereka adalah anggota aktif, rajin membayar iuran, dan menjalankan tugas-tugas khusus dalam pergerakan: penyamaran, mengorek informasi, kontra-spionase, dan lain-lain.
Ide bung Karno merangkul pelacur dalam PNI bukan tanpa penolakan dari kawan separtinya. Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi Duta Besar dan Perdana Menteri di tahun 1950-an, adalah salah satu penentangnya. Bagi Ali, mengorganisir pelacur adalah tindakan memalukan dan melanggar susila. Bisa memerosotkan martabat partai di mata rakyat.
Tetapi Soekano tetap bergeming. Bagi Soekarno, dalam melakukan perjuangan, harus ada dukungan yang luas dari rakyat. Bagi Soekarno, soalnya bukanlah bermoral atau tidak bermoral, melainkan soal kekuatan apapun mesti dipergunakan untuk perjuangan. Soekarno mencontohkan peran revolusioner yang dimainkan para pelacur dalam Revolusi Perancis.
Selanjutnya, saya mengeritik narasi Hanung terkait peristiwa Rengasdengklok. Saya kira, narasi Hanung terkait peristiwa itu belum keluar dari tafsiran sejarah resmi [Orde Baru], yakni pemuda menculik Soekarno-Hatta, untuk memaksanya memproklamirkan kemerdekaan.
Saya kira, terminologi penculikan jelas: pengambilan paksa dan penghilangan kemerdekaan korban penculikan. Apakah pemuda benar-benar mengambil paksa dan menghilangkan kemerdekaan Soekarno-Hatta?
Menarik untuk membaca buku Sidik Kertapati, Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik Kertapati adalah seorang aktor dari peristiwa itu. Dalam penjelasannya, Sidik Kertapati jelas-jelas menggunakan istilah “pengamanan tokoh nasional”. Menurutnya, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa keluar kota agar mereka terhindar dari Jepang dalam membicarakan tugas mereka yang historis, yakni Proklamasi Kemerdekaan.
Kenapa Rengasdengklok? Karena daerah itu sejak lama sudah menjadi pusat gerakan anti-fasis. Di sana, kata Kertapati, ada kelompok anti-fasis bernama “Sapu Mas”, yang dipimpin oleh seorang perwira PETA, Syudanco Umar Bahsan.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan pemuda di Asrama Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) di Tjikini 71. Sejumlah tokoh pemuda hadir, seperti Chaerul Saleh, Wikana, Aidit, Djohan Nur, Subadio, Suroto Kunto, dan lain-lain.
Hasil pertemuan itu: Kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui Proklamasi. Kemudian, putusan tersebut akan disampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar mereka atas nama Rakyat Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan itu. Artinya, para pemuda menginginkan agar Proklamasi dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Rapat itu kemudian mengutus Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto untuk menemui Bung Karno di kediamannya. Wikana bertindak sebagai Jubir pemuda. Utusan pemuda itu mendesak Bung Karno agar menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.
Menanggapi permitaan pemuda, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi kesempatan untuk berunding dengan pemimpin lainnya. Utusan pemuda mempersilakan.
Perundingan antar tokoh pemimpin berlangsung saat itu juga. Beberapa saat kemudian, Bung Hatta keluar menemui pemuda untuk menyampaikan hasil perundingan, bahwa usul para pemuda tidak bisa diterima karena dianggap kurang perhitungan dan akan memakan banyak korban jiwa.
Yang menarik, seperti diceritakan Sidik Kertapati, selain plan A: proklamasi dibacakan oleh Soekarno, pemuda punya plan B: Proklamasi akan dilakukan melalui Presidium Revolusi. Hanya saja, proklamasi Plan B ini memerlukan sebuah aksi revolusioner. Bisa berdarah-darah.
Karena itu, ketika Plan A sudah gagal, pemuda bergerak dengan Plan B. Karena Plan B ini bisa memicu kerusuhan, maka Soekarno-Hatta harus diamankan. Disamping, untuk menjauhkan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang agar mendukung Revolusi Pemuda.
Tetapi revolusi pemuda itu tidak terjadi. Sementara itu, anggota BPUPKI di Jakarta panik karena “hilangnya” Soekarno. Sore harinya, Ahmad Subardjo bersama bersama Jusuf Kunto berangkat ke Rengasdengklok untuk menjemput pulang Soekarno-Hatta.
Menurut cerita Sidik Kertapati, pada tanggal 16 Agustus 1945, sekitar pukul 04.00 dinihari, Soekarno dibangunkan oleh Chaerul Saleh di kediamannya, Pegangsaan Timur 56 Cikini Jakarta. Saat itu Chaerul Saleh mengatakan, “Keadaan sudah memuncak. Kegentingan harus diatasi. Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap menghadapi kegentingan itu. Keamanan Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh pemuda dan karena itu supaya Bung Karno bersiap berangkat keluar kota.”
Dari ucapan Chaerul itu, jelas upaya pemuda membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok adalah tindakan pengamanan. Versi Sidik Kertapati itu ada kemiripan dengan penjelasan Jusuf Kunto, anggota PETA yang terlibat peristiwa itu. Kepada Mr Subardjo, Yusuf Kunto mengatakan, bahwa alasan mereka membawa Bung Karno dan Hatta adalah karena rasa kekhawatiran bahwa mereka akan dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul. Maklum, kata Yusuf Kunto, pada tanggal 16 Agustus 1945, pemudan dan PETA merencanakan melaksanakan aksi revolusi.
Saya kira, terkait peristiwa 16 Agustus 1945 itu, perbedaan antara Bung Karno dan pemuda terkait soal kemerdekaan adalah soal cara. Bung Karno menginginkan Proklamasi Kemerdekaan tetap melalui jalur aman, yakni PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), demi menghindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban di kalangan rakyat Indonesia. Sedangkan pemuda menghendaki jalur aksi revolusi, yakni proklamasi kemerdekaan di tengah-tengah massa rakyat.(rmol)